Bolehkah Akikah Diri Sendiri Saat Dewasa ?

Setiap anak yang lahir, disunahkan untuk diakikahi oleh orangtuanya, khususnya ayah. Akikah merupakan hal yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dan sebuah do’a untuk kebaikan sang anak.

Dianjurkan untuk memotong satu kambing jika yang lahir adalah anak perempuan dan dua kambing jika anak laki-laki (dalam riwayat lain boleh juga satu ekor).

Rasulullah bersabda : “ Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472)]

Hukum akikah adalah sunah muakkad atau sunnah yang harus diutamakan. Artinya, apabila seorang muslim mampu melaksanakannya (karena mempunyai harta yang cukup) maka ia dianjurkan untuk melakukan akikah bagi anaknya saat anak tersebut masih bayi. Sementara bagi orang yang kurang atau tidak mampu, pelaksanaan akikah dapat ditiadakan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik.

Lalu bagaimana jika saat kecil orangtua tidak mampu, dan saat dewasa ingin mengakikahi diri sendiri?

Bila orangtua dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orangtuanya menjadi kaya.

Jadi apabila keadaan orangtuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka akikaqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan. Akikah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah.

Akikah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Akan tetapi jika anak sudah dewasa, belum diakikah dan cukup mampu melakukannya, boleh mengakikahi dirinya sendiri di luar dari waktu yang diakhirkan setelah baligh. Hukumnya tapi tidak wajib. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/383).

Ibnu Qudamah mengatakan, “ Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian baligh dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri” .

Memotong kambing sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT menyambut kelahiran buah hati, sangat dianjurkan dalam Islam. Nabi Muhammad SAW juga mencontohkannya, beliau melaksanakan akikah untuk dua cucunya, Hasan dan Husein.

Siapa yang bertanggungjawab kepada Akikah anak?

Akikah termasuk nafkah anak yang tanggung jawabnya dianjurkan untuk ayah dari anak tersebut. Selama ayah dari anak tersebut masih ada dan mampu, maka dia dianjurkan untuk mengakikahi anaknya.

Bagaimana jika ayah sudah tidak ada atau tidak mampu atau sebab lainnya yang tidak memungkinkan dia untuk mengakikahi anaknya? Maka boleh bagi orang lain untuk menggantikan posisinya dalam mengakikahi anaknya, termasuk ibu dari anak tersebut, kakek, paman dan lainnya.

Karena itu, boleh bagi seorang ibu untuk melakukan akikah untuk anaknya, baik ayah dari anak itu ada namun tidak mampu, atau sudah tidak ada. Hal ini karena yang terpenting adalah anak yang baru lahir diakikahi, baik diakikahi oleh ayahnya, ibunya, kakeknya, pamannya, atau bahkan diakikahi oleh orang lain.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berikut;

Sabda Nabi Muhammad Saw; Hewan akikah disembelih pada hari ketujuh kelahirannya. Hadis ini menjadi dalil bahwa sah seseorang mengakikahi anak orang lain, sebagaimana sah pula kerabat mengakikahi kerabat yang lain, dan seseorang mengakikahi dirinya sendiri.